Seni Bela Diri Tradisional Geudeu-Geudeu: Ujian Kekuatan dan Daya Tahan

Seni bela diri tradisional Geudeu-Geudeu, merupakan ujian kekuatan dan ketahanan. Temukan asal usul olahraga intens ini dan ketahanan mental dan fisik yang diperlukan untuk berpartisipasi. Saksikan tingginya sportivitas yang ditunjukkan oleh para petarung dan kebanggaan yang mereka rasakan terhadap keterampilan mereka. Simak terus untuk mengetahui keunikan aturan dan strategi pertandingan Geudeu-Geudeu. Jangan lewatkan perjalanan menawan menuju dunia seni bela diri tradisional.

Geudeu-geudeu dikenal juga dengan sebutan deudeu merupakan seni bela diri tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Pidie/Pidie Jaya. Bentuk seni bela diri ini mirip dengan gulat dan kebanyakan dimainkan oleh laki-laki. Setiap tim terdiri dari tiga individu. Pertandingan Geudeu-geudeu biasanya diadakan antar desa, biasanya setelah panen padi.

Asal usul geudeu-geudeu dapat ditelusuri kembali ke pelatihan mental dan spiritual prajurit kerajaan. Karena sifatnya yang berbahaya, olahraga intens ini tidak fokus pada perebutan gelar, karena bisa berakibat fatal. Dahulu pertandingan geudeu-geudeu sering diadakan di Pidie dan Pidie Jaya pada masa pasca panen atau pada malam bulan purnama. Meskipun tidak ada imbalan yang nyata, para pemuda dengan fisik yang kuat dengan penuh semangat berpartisipasi, hanya membawa luka memar. Pahala sesungguhnya adalah rasa bangga yang memuaskan para pejuang yang menang. Pertarungan fisik ini berfungsi sebagai sarana untuk mengendurkan dan mengendurkan otot-otot yang tegang. Hal ini pun mengundang kekaguman para gadis desa.

Sebagai seni bela diri, geudeu-geudeu menuntut praktisinya memiliki ketahanan fisik dan mental. Mereka harus menahan serangan dan lemparan dari lawannya. Kesabaran dan ketekunan juga menjadi sifat penting bagi para pesilat geudeu-geudeu. Melalui seni emosi disalurkan. Jika emosi seorang petarung tidak stabil, hal ini dapat menimbulkan konsekuensi yang mengerikan.

Kesabaran para pemain diuji dengan rentetan kata-kata kasar dari penonton. Alhasil sepanjang sejarah pertandingan geudeu-geudeu tidak pernah terjadi pertarungan di luar arena. Hal ini menunjukkan tingginya sportivitas yang ditunjukkan para pemainnya. Meski mungkin akan babak belur dan lebam di dalam arena, namun di luar hal tersebut dianggap wajar. Banyak dari para petarung ini yang terus duduk bersama dan menikmati secangkir kopi usai pertandingan.

Pada akhir tahun 1980-an, pertandingan geudeu-geudeu masih sering digelar di Beuracan, Kabupaten Pidie Jaya. Pertandingan ini biasanya dibagi menjadi dua kategori, tantangan pribadi dan tantangan perwakilan desa. Siapa pun boleh berpartisipasi, asalkan berani mengendalikan pukulan, lemparan, dan tentunya emosi.

Dalam pertandingan geudeu-geudeu, para pesilat awalnya dibagi menjadi dua kelompok besar. Petarung pertama memasuki arena untuk menantang dua petarung lainnya sambil melenturkan otot dan menjentikkan jari. Arena biasanya terbuat dari jerami dan dijadikan alas.

Petarung pertama yang menantang dua lawan lainnya disebut “ureung tueng” (penantang). Kedua petarung yang ditantang disebut “ureug pok” (yang menerima tantangan). Saat diserang, petarung pertama akan menyerang dan melempar kedua lawan yang menyerangnya. Ureung tueng diperbolehkan menggunakan tinjunya untuk menyerang dimana saja kecuali di bawah ikat pinggang. Sedangkan Ureung pok hanya bisa melempar dan membanting sambil berpegangan tangan. Jika gagang ureung pok terlepas atau salah satunya terjatuh akibat benturan ureung tueng maka dianggap kalah.

Begitu pula jika ureung pok berhasil melempar atau membanting ureung tueng, maka ureung tueng dianggap kalah.

Di babak kedua, posisi pemain terbalik. Posisi tueng akan beralih ke pok, begitu pula sebaliknya. Hal ini berlanjut dalam batas waktu (babak) tertentu hingga muncul salah satu pihak sebagai pemenang.

Biasanya pertandingan geudeu-geudeu diawasi oleh beberapa wasit yang disebut dengan “ureung seumeugla” (wasit pemisah), biasanya beranggotakan empat atau lima orang. Para juri ini juga lincah dan kuat, mampu memisahkan para petarung.

Biasanya para ureung seumeugla adalah mantan pejuang geudeu-geudeu yang mempunyai pengalaman dan naluri dalam urusan geudeu-geudeu.

Wasit dapat menentukan apakah seorang petarung menyerang dengan profesional atau emosi. Adalah peran wasit untuk memutuskan kapan pertarungan harus dihentikan, karena ini adalah keseimbangan yang baik antara profesionalisme dan emosi para petarung.

0 comments:

Posting Komentar