Rafting Sungai Geumpang - Mane

Destinasi Arung Jeram Terbaik di Indonesia.

Arung Jeram Sungai Geumpang - Mane

Salah satu view saat rafting di sungai Geumpang - Mane.

Air Terjun Pucari

Salah satu wisata alam di Aceh Besar.

Lingkok Kuwieng

Wisata alam eksotis di pedalaman Pidie.

Mie Aceh

Kuliner Aceh warisan Endatu.

Menjelajahi Keindahan Bukit Lamreh di Aceh Besar

Aceh Besar, sebuah kabupaten yang terletak di bagian paling barat Provinsi Aceh, menyimpan beragam keindahan alam yang tak terlupakan. Salah satu permata tersembunyi yang patut dikunjungi di sini adalah Bukit Lamreh.


Bukit Lamreh adalah perpaduan sempurna antara pemandangan alam yang menakjubkan dan kekayaan budaya. Mari selami lebih dalam. Bukit ini menyuguhkan pemandangan spektakuler dari puncaknya yang menjulang tinggi. Saat matahari terbit atau terbenam, suasana di sini menjadi sungguh ajaib.

Pengunjung bisa merasakan kedamaian dan ketenangan sambil menikmati keindahan alam sekitar. Selain mengagumi pemandangan yang indah, Bukit Lamreh juga menawarkan berbagai aktivitas wisata seru. Pengunjung  bisa melakukan trekking atau hiking di sepanjang jalan setapak yang mengelilingi bukit, cocok untuk pecinta alam. Selain itu, terdapat area berkemah di sekitar bukit, memungkinkan Pengunjung  merasakan pengalaman berkemah yang autentik.

Selain keindahan alamnya, Bukit Lamreh juga mengenalkan Anda pada kehidupan budaya masyarakat Aceh Besar. Anda dapat berinteraksi dengan penduduk setempat, mempelajari tradisi mereka, dan mencicipi masakan Aceh yang lezat. Untuk mencapai Bukit Lamreh, Pengunjung  bisa menggunakan angkutan umum atau menyewa kendaraan pribadi dari ibu kota provinsi, Banda Aceh. Perjalanannya mungkin memakan waktu beberapa jam, namun pemandangan di sepanjang perjalanan akan memuaskan Anda.


Pastikan untuk membawa perlengkapan berkemah jika berencana berkemah di Bukit Lamreh. Jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan momen indah di sini. Hormati budaya dan tradisi lokal ketika berinteraksi dengan masyarakat Aceh Besar. Jika Anda sedang mencari pengalaman wisata tak terlupakan di Aceh Barat, Bukit Lamreh adalah destinasi yang patut Anda pertimbangkan..

Dengan keindahan alamnya yang menakjubkan dan kekayaan budayanya, inilah tempat yang akan meninggalkan kesan mendalam dalam perjalanan perjalanan Anda. Selamat menjelajahi keindahan Bukit Lamreh.

Jameun Kupi, Kafe Bernuansa Tempo Dulu di Bireun, Aceh

Perjalanan kembali ke masa lalu saat kami menjelajahi desa nostalgia Cot Bada di Aceh, Indonesia. Rasakan pesona dunia lama, nikmati hidangan tradisional, dan benamkan diri Anda dalam suasana vintage. Jangan lewatkan destinasi unik yang akan membawa Anda ke masa lalu. Ikuti kami saat kami mengungkap permata tersembunyi Cot Bada Baroh, Bireun.


Melewati Jalan Banda Aceh Medan, Anda bisa singgah di sebuah desa bernama Cot Bada di Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Ada nuansa berbeda yang bisa ditemui traveler di sini.

Ada destinasi yang bisa kamu kunjungi bersama keluarga dengan suasana tempo dulu. Di sini tersedia berbagai macam menu baik makanan maupun minuman yang menawarkan masakan khas jaman dulu. Selain itu, Anda juga bisa melihat berbagai macam pernak-pernik masa lalu yang menghiasi lokasi ini.

Untuk menu makanan destinasi ini menyediakan makanan yang biasa disantap oleh orang tua kita, tidak ada jenis makanan kekinian. Saat traveler berkunjung ke lokasi, menu yang dipesan antara lain Deugok, gorengan, dan buah-buahan. Menu minuman disini rupanya juga menyediakan kopi khop, bandrek, kopi tebu, dan minuman tradisional lainnya tentunya. Ada satu minuman yang mengingatkan saya pada masa kecil traveler, yaitu limun, sejenis minuman soda menyegarkan yang sering diminum traveler semasa sekolah.

Di lokasi tersebut juga terdapat banyak aksesoris jadul, antara lain setrika arang, pompa air manual, kursi pangkas rambut kuno, koper, mangkok, piring, dan lain sebagainya yang merupakan barang langka saat ini. Banyak anak muda yang ingin berkunjung untuk berswafoto di lokasi ini, ada pula yang berasal dari luar kabupaten dan warga sekitar. Lokasinya di Jalan Dayah Darussaadah sekitar Cot Bada Kabupaten Bireuen, namanya Jameuen Kupie.

Makam Syahid Lapan di Bireuen, Aceh

Hari ini kita melakukan perjalanan ke Makam Syahid Lapan yang bersejarah di Bireuen, Aceh. Situs keramat ini mempunyai tempat tersendiri di hati masyarakat sekitar dan mereka yang melewati jalur Banda Aceh - Medan. Jadi, mari selami kisah menarik di balik makam yang luar biasa ini.


Terletak di Cot Batee Geulungku, Kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten Bireuen, Makam Syahid Lapan adalah situs bersejarah yang sangat penting. Makam ini mendapatkan namanya, yang diterjemahkan menjadi "Makam Delapan Martir", karena merupakan tempat peristirahatan terakhir delapan pejuang pemberani yang gugur dalam perjuangan melawan Belanda. Pahlawan tersebut adalah Tgk Panglima Prang Rayeuk Jurong Binje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Balee Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Syehk Lancok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, dan Nyak Ben Matang Salem Blang Teumulek.

Terletak di pinggiran jalan Banda Aceh - Medan, Makam Syahid Lapan mudah dijangkau oleh para pengunjung. Dan jika Anda merasa lapar, Anda beruntung! Di sekitar makam terdapat banyak warung makan lokal yang menyajikan kuliner khas Simpang Mamplam, seperti pulut ijo.


Saat Anda menjelajahi makam tersebut, Anda akan menemukan kisah heroik Syuhada Lapan, yang terpampang indah di dindingnya. Kisahnya terungkap saat terjadi konfrontasi antara Syuhada Lapan dengan batalion Belanda yang beranggotakan 24 tentara bersenjata. Meski hanya berbekal pedang, kedelapan pejuang Aceh tersebut menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan dan berhasil mengalahkan seluruh batalyon. Namun di tengah euforianya, mereka dikejutkan oleh bala bantuan dari Jeunieb. Para pejuang pemberani diserang dan secara tragis kehilangan nyawa mereka, darah mereka mengotori tanah. Jenazah mereka dikuburkan bersama dalam satu kuburan, dan tentara Belanda memotong-motong mereka dengan pedang mereka sendiri.

Salah satu pengguna jalan  Banda Aceh - Medan yang kerap mampir ke Makam Syahid Lapan untuk menunaikan salat dan bersedekah. salah satu pengunjung menceritakan, “Saya sering mengunjungi makam suci ini dalam perjalanan ke Samalanga. Dulu orang tua saya singgah di sini untuk bersedekah dan mendoakan semoga perjalanan selamat dan keberkahan melimpah. Konon orang yang melewati makam ini tanpa singgah dan bersedekah mungkin menemui hambatan dalam perjalanannya."


Firman, penjaga Makam Syahid Lapan, menjelaskan bahwa makam tersebut selalu termasyhur, para pemudik selalu berhenti sejenak di depan makam Syuhada Lapan untuk memberikan sumbangan. Bahkan, celengan beton berbentuk miniatur rumah telah ditempatkan di depan makam, dan sumbangan yang terkumpul digunakan untuk membangun masjid. “Dari dana yang terkumpul di celengan ini, kami memutuskan untuk membangun masjid di sini untuk memberikan tempat ibadah yang nyaman bagi pemudik yang lewat,” katanya.

Nah sobat petualang jika sedang berwisata di jalur Banda Aceh - Medan jangan lupa mampir ke Makam Syahid Lapan. Benamkan diri Anda dalam kekayaan sejarah dan berikan penghormatan kepada para martir pemberani yang berjuang demi tanah mereka. Sampai jumpa lagi, teruslah menjelajah.

Menelusuri Kekayaan Sejarah Masjid Po Teumeureuhom di Aceh

Kekayaan sejarah Masjid Po Teumeureuhom di Aceh. Temukan mimbar kuno, warisan Sultan Iskandar Muda, dan makna budaya masjid yang luar biasa ini.

Masjid Po Teumeureuhom merupakan salah satu masjid tertua di Aceh yang menyimpan nilai sejarah yang sangat besar bagi masyarakat Tanah Rencong, khususnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Terletak di Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie, Masjid Po Teumeuruhom Labui memiliki mimbar berukir berusia berabad-abad, yang dibuat oleh pengrajin Tiongkok sekitar tahun 1612 Masehi. Seiring berjalannya waktu, para pengurus masjid rajin mempercantik mimbar dengan menghiasinya dengan lapisan cat emas, memastikan mimbar selalu tampil segar dan menawan bagi siapa pun yang melihatnya.

Mimbar sudah berdiri di dalam masjid sejak awal dibangunnya Masjid Raya Labui oleh Po Teumeureuhom. Menurut sejarah setempat, masjid ini awalnya bernama Masjid Raya Po Teumeureuhom. Bangunan pertama terbuat dari kayu berat dengan atap jerami, sedangkan dindingnya terbuat dari campuran batu dan kapur. Po Teumeureuhom, yang memerintah sebagai Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607 hingga 1636, bekerja bersama masyarakat untuk membangun masjid melalui upaya kolektif.

Konon, dalam pembangunannya, masyarakat rela berdiri dalam formasi estafet sepanjang kurang lebih 30 kilometer untuk mengangkut batu dari Muara Tiga menuju Labui. Po Teumeureuhom bahkan mendatangkan arsitek dari Tiongkok untuk membantu pembangunan masjid yang kini telah diakui sebagai situs warisan budaya tersebut.

Yacob, salah satu pengurus masjid pada usia 85 tahun, mengenang bahwa pada masa itu, masjid berfungsi sebagai pusat pendidikan Islam. Banyak santri dari Pidie, Aceh Barat, dan Aceh Timur yang datang ke Masjid Raya Po Teumeureuhom untuk mencari ilmu agama.

Terletak kurang lebih 4 kilometer sebelah barat Kota Sigli, Masjid Po Teumeuruhom  Labui dulunya merupakan masjid kerajaan Kerajaan Pedir atau Masjid Kabupaten.

Selain masjid, Po Teumeureuhom juga membangun benteng pertahanan yang disebut Diwai yang mengelilingi masjid. Namun, Diwai telah dibongkar untuk dijadikan jalan bagi pembangunan gedung masjid baru.


Masjid Raya Labui masih memiliki tongkat kuningan sepanjang 1,2 meter dan berat lima kilogram, menyerupai batang tebu yang beruas-ruas. Tongkat ini ditinggalkan oleh Raja Iskandar Muda dari Aceh ketika ia mengunjungi masjid untuk mengumpulkan kekuatan untuk berperang.

Dalam kunjungannya, Iskandar Muda melakukan perjalanan darat dengan menunggangi gajah putih sambil membawa tongkat yang dikenal dengan tongkat Po Teumeureuhom.

Bagi masyarakat setempat, Masjid Po Teumeureuhom tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah dan pendidikan agama tetapi juga sebagai tempat upacara pernikahan bagi pengantin baru.

Arti penting sejarah Masjid Po Teumeureuhom tidak dapat dilebih-lebihkan. Ini merupakan bukti kekayaan warisan budaya Aceh dan semangat abadi masyarakatnya. Keindahan arsitektur masjid, ditambah dengan artefak bersejarahnya, memberikan gambaran sekilas ke masa lalu dan berfungsi sebagai pengingat akan sejarah kejayaan wilayah tersebut.

Seni Bela Diri Tradisional Geudeu-Geudeu: Ujian Kekuatan dan Daya Tahan

Seni bela diri tradisional Geudeu-Geudeu, merupakan ujian kekuatan dan ketahanan. Temukan asal usul olahraga intens ini dan ketahanan mental dan fisik yang diperlukan untuk berpartisipasi. Saksikan tingginya sportivitas yang ditunjukkan oleh para petarung dan kebanggaan yang mereka rasakan terhadap keterampilan mereka. Simak terus untuk mengetahui keunikan aturan dan strategi pertandingan Geudeu-Geudeu. Jangan lewatkan perjalanan menawan menuju dunia seni bela diri tradisional.

Geudeu-geudeu dikenal juga dengan sebutan deudeu merupakan seni bela diri tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Pidie/Pidie Jaya. Bentuk seni bela diri ini mirip dengan gulat dan kebanyakan dimainkan oleh laki-laki. Setiap tim terdiri dari tiga individu. Pertandingan Geudeu-geudeu biasanya diadakan antar desa, biasanya setelah panen padi.

Asal usul geudeu-geudeu dapat ditelusuri kembali ke pelatihan mental dan spiritual prajurit kerajaan. Karena sifatnya yang berbahaya, olahraga intens ini tidak fokus pada perebutan gelar, karena bisa berakibat fatal. Dahulu pertandingan geudeu-geudeu sering diadakan di Pidie dan Pidie Jaya pada masa pasca panen atau pada malam bulan purnama. Meskipun tidak ada imbalan yang nyata, para pemuda dengan fisik yang kuat dengan penuh semangat berpartisipasi, hanya membawa luka memar. Pahala sesungguhnya adalah rasa bangga yang memuaskan para pejuang yang menang. Pertarungan fisik ini berfungsi sebagai sarana untuk mengendurkan dan mengendurkan otot-otot yang tegang. Hal ini pun mengundang kekaguman para gadis desa.

Sebagai seni bela diri, geudeu-geudeu menuntut praktisinya memiliki ketahanan fisik dan mental. Mereka harus menahan serangan dan lemparan dari lawannya. Kesabaran dan ketekunan juga menjadi sifat penting bagi para pesilat geudeu-geudeu. Melalui seni emosi disalurkan. Jika emosi seorang petarung tidak stabil, hal ini dapat menimbulkan konsekuensi yang mengerikan.

Kesabaran para pemain diuji dengan rentetan kata-kata kasar dari penonton. Alhasil sepanjang sejarah pertandingan geudeu-geudeu tidak pernah terjadi pertarungan di luar arena. Hal ini menunjukkan tingginya sportivitas yang ditunjukkan para pemainnya. Meski mungkin akan babak belur dan lebam di dalam arena, namun di luar hal tersebut dianggap wajar. Banyak dari para petarung ini yang terus duduk bersama dan menikmati secangkir kopi usai pertandingan.

Pada akhir tahun 1980-an, pertandingan geudeu-geudeu masih sering digelar di Beuracan, Kabupaten Pidie Jaya. Pertandingan ini biasanya dibagi menjadi dua kategori, tantangan pribadi dan tantangan perwakilan desa. Siapa pun boleh berpartisipasi, asalkan berani mengendalikan pukulan, lemparan, dan tentunya emosi.

Dalam pertandingan geudeu-geudeu, para pesilat awalnya dibagi menjadi dua kelompok besar. Petarung pertama memasuki arena untuk menantang dua petarung lainnya sambil melenturkan otot dan menjentikkan jari. Arena biasanya terbuat dari jerami dan dijadikan alas.

Petarung pertama yang menantang dua lawan lainnya disebut “ureung tueng” (penantang). Kedua petarung yang ditantang disebut “ureug pok” (yang menerima tantangan). Saat diserang, petarung pertama akan menyerang dan melempar kedua lawan yang menyerangnya. Ureung tueng diperbolehkan menggunakan tinjunya untuk menyerang dimana saja kecuali di bawah ikat pinggang. Sedangkan Ureung pok hanya bisa melempar dan membanting sambil berpegangan tangan. Jika gagang ureung pok terlepas atau salah satunya terjatuh akibat benturan ureung tueng maka dianggap kalah.

Begitu pula jika ureung pok berhasil melempar atau membanting ureung tueng, maka ureung tueng dianggap kalah.

Di babak kedua, posisi pemain terbalik. Posisi tueng akan beralih ke pok, begitu pula sebaliknya. Hal ini berlanjut dalam batas waktu (babak) tertentu hingga muncul salah satu pihak sebagai pemenang.

Biasanya pertandingan geudeu-geudeu diawasi oleh beberapa wasit yang disebut dengan “ureung seumeugla” (wasit pemisah), biasanya beranggotakan empat atau lima orang. Para juri ini juga lincah dan kuat, mampu memisahkan para petarung.

Biasanya para ureung seumeugla adalah mantan pejuang geudeu-geudeu yang mempunyai pengalaman dan naluri dalam urusan geudeu-geudeu.

Wasit dapat menentukan apakah seorang petarung menyerang dengan profesional atau emosi. Adalah peran wasit untuk memutuskan kapan pertarungan harus dihentikan, karena ini adalah keseimbangan yang baik antara profesionalisme dan emosi para petarung.

Kisah Inspiratif Masjid Abu Beureueh: Simbol Persatuan dan Ketahanan

Kisah inspiratif Masjid Abu Beureueh, simbol persatuan dan ketahanan di desa Beureunuen. Temukan bagaimana sosok karismatik Abu Daud Beureueh menggalang komunitas untuk berkontribusi terhadap pembangunan masjid yang luar biasa ini.Pembangunan dan pendirian Yayasan Baitul A’la Lilmujahidin. Ini adalah kisah tekad, keyakinan, dan kekuatan komunitas. 

Di desa Beureueh,  Beureunuen, hiduplah seorang tokoh kharismatik dan dihormati bernama Abu Daod Beureueh. Pengaruhnya yang begitu besar membuat masyarakat bersatu padu menyumbangkan hartanya untuk pembangunan Masjid Baitul A’la Lilmujahidin.

Pada tanggal 9 Oktober 1979, Tgk Muhammad Daud Beureueh mendirikan Yayasan Baitul A’la Lilmujahidin sebagai badan hukum yang mengelola masjid dan pendidikan di dalam kompleks tersebut. Muhammad Nur El Ibrahimi diangkat sebagai ketua yayasan, sedangkan Tgk Muhammad Daud Beureueh menjadi Ketua Kehormatan. Saat ini, masjid tersebut dikenal dengan nama Masjid Abu Beureueh.

Masjid Baitul A’la Lilmujahidin merupakan salah satu karya luar biasa dari Tgk Muhammad Daud Beureueh di Beureunuen. Abu Mansor, sekretaris pribadi Abu Daud Beureueh, berbagi cerita tentang masjid yang terkenal dengan nama Masjid Abu Beureueh ini.

Pembangunan Masjid Baitul A’la Lilmujahidin diprakarsai oleh Abu Daud Beureueh pada tahun 1950. Namun akibat konflik Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh, pembangunannya tertunda selama sepuluh tahun. Pada masa ini, Abu Daud Beureueh memimpin pemberontakan melawan pemerintah pusat, karena ia yakin pemerintah Indonesia telah mengingkari janjinya kepada masyarakat Aceh.

Setelah pemberontakan mereda pada tahun 1963, pembangunan masjid kembali dilanjutkan dengan bantuan sumbangan masyarakat. Sosok Abu Daud Beureueh yang karismatik dan disegani menginspirasi masyarakat untuk berkontribusi semaksimal mungkin, meski hanya beberapa butir telur atau segenggam beras. Akhirnya masjid ini berdiri tegak dan diresmikan pada tahun 1972.

Makam Tgk. Daud Beureueh di dalam Komplek Mesjib  Baitul A’la Lilmujahidin


Abu Daud Beureueh-lah yang menganugerahkan nama Baitul A’la Lilmujahidin pada masjid tersebut. Namun namanya masih relatif belum diketahui karena masyarakat lebih suka menyebutnya Masjid Abu Beureueh. Bermodalkan sumbangan materi dari masyarakat berupa infaq dan sedekah (sedekah), Abu Beureueh berinisiatif mendirikan lembaga pendidikan (dayah) di dalam kompleks masjid.

Sayangnya, akibat meningkatnya konflik di Aceh dengan munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Abu Beureueh diculik” dan direlokasi ke Jakarta pada tahun 1979. Hal ini dilakukan karena khawatir GAM akan memanfaatkan pengaruh Abu Beureueh untuk kepentingan mereka sendiri. 

Setahun kemudian, beberapa tokoh Aceh mengunjungi Abu Beureueh yang dipenjara”di kediaman pemerintah di Jalan Wijaya Kusuma No. 6, Jakarta, untuk membicarakan berbagai hal, termasuk pengelolaan Masjid Baitul A’la Lilmujahidin.

Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Muhammad Nur El Ibrahimy, Drs Ma'mun Dawud, Tgk Hasballah Haji, Tgk H M Nur Syik, Tgk Adnan Saud, Tgk H A Wahab Yusuf, Tgk Said Ibrahim, Cekmat Rahmani, Zaini Bakri, Ishak Husein, dan Tgk H Yacob Ali.

Hasil pertemuan tersebut, pada tanggal 9 Oktober 1979, didirikanlah Yayasan Baitul A’la Lilmujahidin sebagai badan hukum yang mengelola masjid dan pendidikan di dalam kompleks tersebut. Muhammad Nur El Ibrahimi diangkat sebagai ketua yayasan, sedangkan Tgk Muhammad Daud Beureueh menjadi Ketua Kehormatan.

Kekayaan masjid kemudian diinventarisasi. Abu Beureueh menyatakan, seluruh harta benda bukan milik yayasan, melainkan milik Allah dan umat Islam, untuk dimanfaatkan demi kemaslahatan ummat yang berada di bawah pengelolaan yayasan.

Menjelajahi Kekayaan Sejarah Masjid Raya Baiturrahman di Aceh, Indonesia

Kekayaan sejarah Masjid Raya Baiturrahman di Aceh, Indonesia. Temukan bagaimana masjid megah ini menjadi simbol agama, budaya, dan ketahanan masyarakat Aceh. Dari selamat dari tsunami dahsyat pada tahun 2004 hingga perannya sebagai pusat kegiatan keagamaan dan benteng melawan penjajah kolonial, Masjid Raya Baiturrahman telah menjadi saksi peristiwa penting sepanjang sejarah. Pelajari tentang arsitektur uniknya, termasuk pengaruh Mughal dan pintu kayu yang rumit. Jangan lewatkan kesempatan ini untuk mendalami kisah menarik Masjid Raya Baiturrahman.

Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah landmark bersejarah di Aceh, Indonesia, yang melambangkan agama, budaya, dan ketahanan masyarakatnya. Masjid megah ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan tetapi juga berdiri sebagai bukti kejayaan Kerajaan Aceh dan perlawanannya terhadap penjajah kolonial. Dibangun oleh Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh dari tahun 1607 hingga 1636, pada tahun 1612, Masjid Raya Baiturrahman telah menjadi saksi peristiwa penting sepanjang sejarah, termasuk selamat dari bencana tsunami dahsyat pada tahun 2004.

Menurut sumber sejarah, Masjid Raya Baiturrahman didirikan pada tahun 1612 pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Namun ada pula yang berpendapat bahwa masjid ini dibangun lebih awal, yaitu pada tahun 1292 oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah. Terlepas dari tahun pasti pembangunannya, bangunan asli Masjid Raya Baiturrahman musnah dilalap api pada masa pemerintahan Sultan Nurul Alam (1675-1678). Sebagai gantinya, sebuah masjid baru didirikan di lokasi yang sama. Karena letaknya yang strategis, Belanda membakar sebagian Masjid Raya Baiturrahman pada 10 April 1873. Untuk menenangkan kemarahan masyarakat Aceh, Gubernur Jenderal Van Lansberge berjanji akan membangun kembali masjid agung tersebut.

Peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid dilakukan pada tanggal 9 Oktober 1879 oleh Tengku Qadhi Malikul Adil. Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman selesai pada tanggal 27 Desember 1881 dan diresmikan pada hari yang sama. Awalnya sebagian masyarakat Aceh menolak beribadah di masjid tersebut karena dibangun oleh Belanda. Namun Masjid Raya Baiturrahman kini menjadi kebanggaan Banda Aceh. Ketika Belanda menyelesaikan pembangunannya pada tahun 1881, masjid ini memiliki satu kubah dan satu menara. Kubah dan menara tambahan ditambahkan pada tahun 1935, 1958, dan 1982. Saat ini, Masjid Raya Baiturrahman memiliki tujuh kubah dan delapan menara. Setelah tsunami Aceh tahun 2004, masjid ini mengalami renovasi untuk memperbaiki kerusakan kecil yang dialaminya.

Sepanjang sejarahnya, Masjid Raya Baiturrahman telah melayani berbagai tujuan di luar kegiatan keagamaan. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, masjid ini digunakan sebagai pusat penyebaran agama Islam. Tidak hanya ulama lokal yang berkumpul di sini, tetapi juga ulama dari Melayu, Persia, Arab, dan Turki. Pada masa penjajahan, Masjid Raya Baiturrahman berfungsi sebagai tempat ibadah dan benteng pertahanan dari serangan musuh. Fungsi ini sangat penting pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah (1870-1874).

Masjid ini sering menjadi tempat pertemuan besar-besaran untuk membahas strategi mempertahankan diri dari serangan Belanda. Akibatnya, Masjid Raya Baiturrahman menjadi sasaran serangan Belanda dan akhirnya dibakar. Saat terjadi bencana tsunami tahun 2004, masjid ini menjadi tempat penampungan sementara bagi para pengungsi. Saat ini, Masjid Raya Baiturrahman memiliki beragam fungsi, antara lain untuk salat, acara keagamaan seperti perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, peringatan Tahun Baru Islam, dan sebagai tempat wisata religi di Aceh.

Desain baru Masjid Raya Baiturrahman diciptakan oleh seorang kapten tentara Belanda bernama Gerrit van Bruins. Ia berkonsultasi dengan Snouck Hurgronje dan pimpinan masjid di Bandung untuk menentukan arsitektur masjid. Ciri khas Masjid Raya Baiturrahman adalah gaya arsitektur Mughal yang ditandai dengan kubah dan menara megah yang mengingatkan kita pada Taj Mahal di India. Aspek unik lainnya dari masjid ini adalah tiga pintu kayu besar yang dihiasi ornamen rumit. Interior Masjid Raya Baiturrahman dihiasi dinding dan pilar relief, tangga marmer, lantai Cina, dan kaca patri dari Belgia.